Thumbnail

mrioaldino - Dari kegagalan kita belajar, dari kegagalan kita bangkit. Namun, nyatanya kalimat ini sulit di realisasikan oleh negara yang satu ini.


Negara Nauru mungkin masih terdengar asing di telinga orang Indonesia bahkan dunia. Gua rasa hal ini wajar, mengingat negara pulau ini terbilang sangat kecil, bahkan tidak memiliki peran signifikan dalam dunia internasional.


Padahal kalau lo lihat jauh ke belakang lagi, tepatnya pada era 1980-an, Nauru ini terbilang negara mahsyur, makmur, dan kaya. Namun karena satu dan lain hal, pondasi yang telah terbangun tiba-tiba roboh tak berbekas, kalaupun bersisa itu hanyalah setumpuk hutang negara yang menggunung. Lantas apa sebab negara kaya jadi melarat ini?


Ya, kisah tentang Nauru ini memang cukup memprihatinkan. Oiya disclaimer dulu negara ini termasuk dalam kawasan Oceania  dengan luas pulau utama hanya 21 km persegi saja, bahkan populasi penduduknya pun ngga sampai 10 ribu orang.


Secara historis, Nauru merupakan bekas jajahan Inggris dan tercatat pernah menjadi negara dengan pendapatan per kapita tertinggi secara global, sehingga sempat menimbulkan rasa iri bagi negara-negara Asia Pasifi lainnya.


Salah satu sumber kekayaan utama Nauru ini ternyata fosfat bahkan negara ini dikenal sebagai negara penghasil Fosfat terbesar di dunia, waktu itu ya bukan sekarang. Nah, diketahui fosfat yang mereka hasilkanpun bukan yang ecek-ecek, namun fosfat bermutu sangat tinggi karena terbentuk dari endapan kotoran burung selama berabad-abad.


Dan perlu lo ketahui kalau fosfat merupakan bahan baku untuk pupuk. Nah, puncaknya ada ketika Nauru merdeka dari Inggris pada tahun 1968, tambang fosfat pun begitu marak di negara Nauru dengan puncak produksinya terjadi pada era 1980-an. Tapi apakah mereka berhasil mengelolah fosfat ini dengan bijak?


Eksploitasi SDA yang Gila!


Awal mula petaka Nauru terjadi ketika permintaan fosfat dunia yang meningkat drastis di masa itu, hal ini berimbas pada eksploitasi fosfat secara besar-besaran di Nauru. Kalo dilihat sebab-akibatnya sih, di era 80-an itu fosfat benar-benar menjadi kebutuhan banyak negara terutama untuk memberikan kesuburan pada tanah, wajar saat itu kebutuhan pangan meningkat drastis pasca berakhirnya perang dunia II.


Di sisi lain, cadangan yang ada di berbagai tambang fosfat Australia serta Selandia Baru kian menipis. Hal inilah yang membuat pasokan fosfat mulai beralih ke Nauru. Pada tahun 1963 sampai 1970, banyak penduduk Nauru yang dipaksa pindah dari wilayah tempat tinggal mereka karena adanya peningkatan pembukaan tambang fosfat. Tentunya, keuntungan yang didapatkan oleh pemerintah Nauru pun sangat besar.


Dari penjualan fosfat pada tahun 1980 saja, negara kecil ini berhasil mendapatkan pemasukan paling tidak 123 juta dollar AS. Pemasukan ini belum termasuk royalti serta penerimaan dari pajak. Untuk sebuah negara kecil di tahun itu, ini fantastis tentunya. Bayangin dengan penduduk hanya sekitar 10 ribu jiwa, Nauru berhasil nangkring di posisi teratas negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di dunia, yaitu mencapai 27 ribu dollar AS per tahun.


Kalap Berujung Petaka Nauru!


Karena merasa sudah diatas angin, berbagai kebijakan yang menurut gua terlalu gegabah dan kelirupun banyak di ambil pemerintah Nauru kala itu. Misal, pemerintah Nauru mulai membebaskan banyak pajak serta subsidi perumahan besar-besaran bagi masyarakatnya. Bahkan, layanan publik seperti rumah sakit, sekolah, hingga transportasi semuanya di gratiskan.


Selain itu, banyak sekali para pemuda Nauru dikirim ke Australia untuk kuliah di Universitas bergengsi dengan biaya subsidi penuh dari Pemerintah. Gak hanya itu para pejabat pemerintah pun ikut hidup bergelimangan harta.


Kalau dilihat dari kebijakan ini, kekayaan besar yang didapatkan dari hasil tambang fosfat ini malah dihambur-hamburkan oleh pemerintah Nauru dan tidak dimanfaatkan sebagai investasi jangka panjang. Mereka ga berfikir bila fosfat kan termasuk Sumber Daya Alam non renewable, akibatnya, deposit fosfat perlahan mulai habis karena masifnya eksploitasi pada tahun 1990-an.


Perlahan tapi pasti, selain royalti yang menyusut, bekas tambang fosfat pun membuat kerusakan parah sekitar 60% pulau utama Nauru. Permukaan sisa dari tambang tidak bisa dimanfaatkan untuk pertanian, sehingga menjadikan lahan gersang serta membuat lubang menganga dimana-mana. Sudah jatuh tertimpa tangga pula ini tepatnya.


Ending nya apa? Nauru pun mulai terperosok ke lembah kehancuran dimana negara ini mulai mengandalkan pinjaman dari Australia. Parahnya, pada tahun 2002, Nauru pun tidak bisa membayar utangnya sebesar 230 juta dollar Australia hal ini sebagai akibat dari devaluasi mata uang negara Australia tersebut. Sebagai gantinya, beberapa aset milik Nauru pun mulai digadaikan kepada negara Australia.


Hingga saat ini, Nauru masih bergantung pada negara Australia saja. Bahkan, setiap tahun sampai 2018, Nauru menerima bantuan sekitar 176 juta dollar AS dari Australia.


Gak hanya jatuh miskin, penderitaan masyarakat Nauru ini juga semakin dalam ketika mayoritas warganya terindikasi mengidap obesitas akut. Penyebabnya tentu gaya hiduo huru-hara yang telah mereka jalani semasa masih menjadi negara tajir. Bahkan berdasarkan data World Population Review 2021, Nauru menempati posisi puncak sebagai negara paling obesitas di dunia lantaran tingkat obesitasnya mencapai 61%. Artinya, 61% penduduk Nauru menderita kegemukan berlebih. Harus mulai banyak gym sih ini.


Dari kegagalan negara ini, mungkin kita dapat belajar bahwa gak semua hal enak itu dapat dinikmati selamanya. Ada kalanya kita harus bijak dalam menyikapi berbagai keuntungan yang tengah kita raih.

Illustrasi
Source

mrioaldino.com - Kenapa masih banyak orang yang rela menghabiskan uang ratusan bahkan miliaran rupiah buat masukin anaknya jadi PNS, sekolah militer, sekolah kedinasan, dll. Dislaimer, ga boleh tersinggung karena ini konten menyampaikan opini dan ke-Why an gua ya. Kalo ga merasa ya jangan marah. 


Oke on context. Kalo dipikir-pikir, uang ratusan juta tadi kalo diputer ke suatu bisnis probabilitas baliknya kan bisa saja lebih cepat, meskipun suksesful rate bisnis itu juga ga bisa ditebak tapi setidaknya lebih berkah aja sih. Emang jadi pekerja sipil dengan cara nepotisme gitu bakal cepet balik uangnya, lu invest 500 juta aja buat masuk beginian butuh puluhan tahun kali buat ngebalikinya kalo Cuma ngandelin gaji bulanan dan tunjangan itu. Ujung-ujungnya ngegadain SK ke bank. Kalo dipikir-pikir gaji pokok dan tunjanganpun masih banyak yang kalah dengan pegawai swasta atau pebisnis. Cuman ya itu pilihan banyak orang di konoha, gengsi over money. 


Cuman gua jadi kasihan aja gitu, sama orang yg mungkin secara finansial sulit tapi dia punya tekad dan kualifikasi yang mumpuni untuk menempati posisi2 sipil tersebut. Gua yakin aja gitu, kalo orang-orang qualified tersebut menempati posisi yang seharusnya, maka pekerjan-pekerjan negara dapat dijalankan sebagai mana mestinya karena secara logika mereka udah pernah mengalami hidup susah, dan untuk mendapatkan pekerjaan tersebut benar-benar butuh perjuangan keringat dan air mata. Intinya, ya sekian ya guys.